Berkata Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab –Rahimahullah- dalam kitab Kasyfu syubhat:”
Dan orang-orang musyrik itu masih mempunyai syubhat lain. Yaitu apa yang pernah disebutkan oleh nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya manusia nanti dihari kiamat akan baristighatsah (meminta pertolongan) kepada Nabi Adam ‘alaihi wasallam, kemudian kepada Nabi Nuh ‘alaihi wasallam, kemudian kepada Nabi Ibrahim ‘alaihi wasallam, kemudian kepada Nabi Musa ‘alaihi wasallam, kemudian kepada Nabi Isa ‘alaihi wasallam, Lalu semuanya tidak dapat melakukan sehingga akhirnya mereka sampai ke Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Orang-orang musyrik itu mengatakan: “hal itu menunjukkan, bahwasanya istighatsah kepada selain Allah itu tidak Syirik”.
Sebagai jawabannya, hendaklah kita katakan: “Maha Suci Allah Yang Mengunci mati hati musuh-musuh-Nya. Sesungguhnya istighatsah kepada makhluk dalam hal yang dia mampu, kami tidak memungkirinya, sebagaimana firman Allah tentang kisah nabi Musa ‘alaihi wasallam:
فَٱسۡتَغَـٰثَهُ ٱلَّذِى مِن شِيعَتِهِۦ عَلَى ٱلَّذِى مِنۡ عَدُوِّهِ
“Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan (beristightsah) kepadanya, atas orang yang dari musuhnya.” (QS. Al Qashash:15).
Dan sebagaimana seseorang meminta pertolongan kepada teman-temannya dalam peperangan atau hal lain yang makhluk mampu mengerjakannya. Kami hanya mengingkari istightsah Al-ibadah (istightsah yang bersifat penyembahan) yang mereka lakukan di sisi kuburan-kuburan para wali atau istightsah kepada wali itu di saat para wali itu di tempat yang jauh, bukan di hadapannya, dalam hal-hal yang tidak ada seorangpun mampu atas hal itu kecuali Allah.
Jika ini telah tegas, maka istightsah mereka kepada para Nabi di hari kiamat seraya menginginkan dari nabi-nabi itu untuk berdo’a kepada Allah agar segera melakukan hisab kepada manusia sehingga penduduk syurga dapat beristirahat terlepas dari susah dan payahnya keadaan waktu itu.
Hal ini memang boleh di dunia dan di akhirat. Yaitu, misalnya; anda datang kepada seorang yang shaleh yang masih hidup, dia duduk mendampingi anda dan mendengarkan perkataan anda, anda mengatakan kepadanya: “Berdo’alah kepada Allah untukku”, sebagaimana dahulu para sahabat Rasulullah memohon hal itu kepada beliau shalallahu ‘alaihi wasallam di saat beliau hidup.
Sedangkan sesudah beliau wafat, sekali-kali tidak dan sekali-kali tidak, dan tidaklah para sahabat itu memohon hal itu di sisi kuburan beliau shalallahu ‘alaihi wasallam.
Bahkan, ulama’ salaf mengingkari orang yang bermaksud berdo’a kepada Allah di sisi kuburan beliau shalallahu ‘alaihi wasallam, lebih-lebih berdo’a memohon kepada diri beliau shalallahu ‘alaihi wasallam?
Syubhat lain yang dimiliki orang-orang musyrik adalah kisah Nabi Ibrahim ‘alaihi wasallam tatkala dilempar ke dalam api, Malaikat Jibril ‘alaihi wasallam menghalanginya di udara. Lalu, Jibril bertanya kepada Ibrahim ‘alaihi wasallam: “Apakah kamu butuh sesuatu? Maka Ibrahim ‘alaihi wasallam menjawab: “kepadamu saya sama sekali tidak butuh”. Lantas mereka mengatakan: Kalau istighatsah itu syirik tentu Jibril tidak akan menawarkan pertolongannya kepada Nabi Ibrahim ‘alaihi wasallam.
Sebagai jawabannya ialah: “Sesungguhnya hal ini termasuk jenis syubhat yang pertama. Sebab, sesungguhnya malaikat Jibril telah menawarkan kepada Ibrahim ‘alaihi wasallam untuk memberi pertolongan kepadanya dalam hal yang Jibril mampu melaksanakan hal itu. Karena sesungguhnya malaikat Jibril, seperti yang difirmankan Allah tentang diri Jibril:
Artinya: “Yang sangat kuat.”
Sebagai jawabannya, hendaklah kita katakan: “Maha Suci Allah Yang Mengunci mati hati musuh-musuh-Nya. Sesungguhnya istighatsah kepada makhluk dalam hal yang dia mampu, kami tidak memungkirinya, sebagaimana firman Allah tentang kisah nabi Musa ‘alaihi wasallam:
فَٱسۡتَغَـٰثَهُ ٱلَّذِى مِن شِيعَتِهِۦ عَلَى ٱلَّذِى مِنۡ عَدُوِّهِ
“Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan (beristightsah) kepadanya, atas orang yang dari musuhnya.” (QS. Al Qashash:15).
Dan sebagaimana seseorang meminta pertolongan kepada teman-temannya dalam peperangan atau hal lain yang makhluk mampu mengerjakannya. Kami hanya mengingkari istightsah Al-ibadah (istightsah yang bersifat penyembahan) yang mereka lakukan di sisi kuburan-kuburan para wali atau istightsah kepada wali itu di saat para wali itu di tempat yang jauh, bukan di hadapannya, dalam hal-hal yang tidak ada seorangpun mampu atas hal itu kecuali Allah.
Jika ini telah tegas, maka istightsah mereka kepada para Nabi di hari kiamat seraya menginginkan dari nabi-nabi itu untuk berdo’a kepada Allah agar segera melakukan hisab kepada manusia sehingga penduduk syurga dapat beristirahat terlepas dari susah dan payahnya keadaan waktu itu.
Hal ini memang boleh di dunia dan di akhirat. Yaitu, misalnya; anda datang kepada seorang yang shaleh yang masih hidup, dia duduk mendampingi anda dan mendengarkan perkataan anda, anda mengatakan kepadanya: “Berdo’alah kepada Allah untukku”, sebagaimana dahulu para sahabat Rasulullah memohon hal itu kepada beliau shalallahu ‘alaihi wasallam di saat beliau hidup.
Sedangkan sesudah beliau wafat, sekali-kali tidak dan sekali-kali tidak, dan tidaklah para sahabat itu memohon hal itu di sisi kuburan beliau shalallahu ‘alaihi wasallam.
Bahkan, ulama’ salaf mengingkari orang yang bermaksud berdo’a kepada Allah di sisi kuburan beliau shalallahu ‘alaihi wasallam, lebih-lebih berdo’a memohon kepada diri beliau shalallahu ‘alaihi wasallam?
Syubhat lain yang dimiliki orang-orang musyrik adalah kisah Nabi Ibrahim ‘alaihi wasallam tatkala dilempar ke dalam api, Malaikat Jibril ‘alaihi wasallam menghalanginya di udara. Lalu, Jibril bertanya kepada Ibrahim ‘alaihi wasallam: “Apakah kamu butuh sesuatu? Maka Ibrahim ‘alaihi wasallam menjawab: “kepadamu saya sama sekali tidak butuh”. Lantas mereka mengatakan: Kalau istighatsah itu syirik tentu Jibril tidak akan menawarkan pertolongannya kepada Nabi Ibrahim ‘alaihi wasallam.
Sebagai jawabannya ialah: “Sesungguhnya hal ini termasuk jenis syubhat yang pertama. Sebab, sesungguhnya malaikat Jibril telah menawarkan kepada Ibrahim ‘alaihi wasallam untuk memberi pertolongan kepadanya dalam hal yang Jibril mampu melaksanakan hal itu. Karena sesungguhnya malaikat Jibril, seperti yang difirmankan Allah tentang diri Jibril:
Artinya: “Yang sangat kuat.”
maka, jika diizinkan untuk mengambil api dan apa yang ada di sekitar api itu lalu ia lemparkan ke ufuk timur atau barat niscaya akan ia kerjakan. Jika Allah memerintahkannya untuk meletakkan Nabi Ibrahim ‘alaihi wasallam di tempat yang jauh dari mereka, niscaya ia dapat melakukannya. Dan jika Allah memerintahkannya untuk mengangkat Ibrahim ‘alaihi wasallam ke langit, niscaya ia dapat melakukannya.
Hal ini tak beda seperti seorang lelaki kaya-raya sedang melihat orang yang membutuhkan. Lantas ia menawarkan kepadanya untuk menghutanginya dan memberinya sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhannya. Tetapi, orang yang membutuhkannya itu tidak mau meminjam dan bahkan ia terus bersabar sampai Allah mendatangkan kepadanya rezeki yang ia tidak merasa tertumpangi jasa orang lain.
Betapa jauhnya perbedaan antara hal ini dengan istighatsah al-ibadah dan syirik, jika mereka benar-benar orang-orang yang mengerti([1]).
Baiklah, kami segera tutup pembicaraan ini dengan suatu masalah yang besar dan penting, yang dapat difahami dari hal-hal yang terdahulu. Akan tetapi kami khususkan pembicarannya mengingat betapa besarnya masalah ini dan betapa banyaknya salah pengertian dalam masalah ini. Maka kami katakan:
Tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama’ bahwasanya tauhid itu wajib diwujudkan dengan hati, lisan dan amal perbuatan. Maka, jika hilang satu saja dari ketiga hal itu (hati, lisan dan amal) maka seorang belum dakatakan muslim. Lalu, jika seorang mengetahui tauhid, tetapi tidak melaksanakan tauhid itu, maka ia dihukum kafir Mu’aanid (orang kafir yang membangkang), seperti kekafiran fir’aun, Iblis dan yang serupa dengan keduanya.
Banyak dari manusia yang salah pengertian dalam masalah ini, mereka mengatakan:
Hal ini tak beda seperti seorang lelaki kaya-raya sedang melihat orang yang membutuhkan. Lantas ia menawarkan kepadanya untuk menghutanginya dan memberinya sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhannya. Tetapi, orang yang membutuhkannya itu tidak mau meminjam dan bahkan ia terus bersabar sampai Allah mendatangkan kepadanya rezeki yang ia tidak merasa tertumpangi jasa orang lain.
Betapa jauhnya perbedaan antara hal ini dengan istighatsah al-ibadah dan syirik, jika mereka benar-benar orang-orang yang mengerti([1]).
Baiklah, kami segera tutup pembicaraan ini dengan suatu masalah yang besar dan penting, yang dapat difahami dari hal-hal yang terdahulu. Akan tetapi kami khususkan pembicarannya mengingat betapa besarnya masalah ini dan betapa banyaknya salah pengertian dalam masalah ini. Maka kami katakan:
Tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama’ bahwasanya tauhid itu wajib diwujudkan dengan hati, lisan dan amal perbuatan. Maka, jika hilang satu saja dari ketiga hal itu (hati, lisan dan amal) maka seorang belum dakatakan muslim. Lalu, jika seorang mengetahui tauhid, tetapi tidak melaksanakan tauhid itu, maka ia dihukum kafir Mu’aanid (orang kafir yang membangkang), seperti kekafiran fir’aun, Iblis dan yang serupa dengan keduanya.
Banyak dari manusia yang salah pengertian dalam masalah ini, mereka mengatakan:
“Sesungguhnya hal ini haq (benar) dan kami memahaminya serta bersaksi, bahwasanya hal itu benar. Akan tetapi, kami tidak Mampu untuk melaksanakannya. Dan tidak dibolehkan penduduk negeri kami, kecuali orang yang sefaham dengan mereka”. Atau berbagai alasan yang lain.
Si bodoh yang miskin pengertian ini tidak tahu, bahwa sebagian besar pemuka-pemuka kafir mereka mengetahui kebenaran itu dan mereka tidak meninggalkannya, dengan berbagai alasan, sebagaimana firman Allah subahanahu wa ta’ala:
ٱشۡتَرَوۡاْ بِـَٔايَـٰتِ ٱللَّهِ ثَمَنً۬ا قَلِيلاً۬ فَصَدُّواْ عَن سَبِيلِهِۦۤۚ إِنہُمۡ سَآءَ مَا ڪانُواْ يَعمَلُونَ
“Mereka menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit.” (QS. At Taubah: 9).
Dan ayat-ayat yang lain. Seperti firman Allah:
يَعرِفُونَهُ ۥ كَمَا يَعرِفُونَ أَبنَآءَهُمُۘ
“Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) itu mengenalnya (Nabi Muhammad) seperti mengenal anaknya sendiri.” (Q.S. Al Baqarah:146 dan Al An’aam:20).
Jika seorang melaksanakan tauhid dengan perbuatan yang tampak mata, sedangkan dia tidak memahami tauhid itu dan tidak meyakininya dengan hatinya, maka dia adalah munafiq. Dan orang munafiq lebih jelek dari orang kafir.
إِنَّ ٱلۡمُنَـٰفِقِينَ فِى ٱلدَّرۡكِ ٱلأَسفَلِ مِنَ ٱلنَّارِ
“Sesungguhnya orang munafiq itu (ditempatkan) pada tingkat yang paling bawah dari neraka.” (Q.S. An Nissa’:145).
Ini masalah yang panjang, akan jelas bagi anda, jika anda telah merenungkannya melalui apa yang keluar dari lisan-lisan manusia, anda akan lihat orang yang mengetahui al haq (kebenaran) tetapi tidak mau melaksanakan kebenaran itu karena rasa takut kekurangan dunia atau karena pangkat di bidang agama atau dunia ataupun karena basa-basi menyesuaikan diri dengan orang. Dan anda juga akan melihat orang yang mengamalkan secara zhahir, sedang batinnya menolak. Akan tetapi wajib bagi anda untuk memahami dua ayat dari kitab Allah ini.
Ayat yang pertama adalah firman Allah ta’ala:
لَا تَعتَذِرُواْ قَدۡ كَفَرۡتُم بَعدَ إِيمَـٰنِكُمۡ
“Tidak usah minta ma’af (beralasan), karena kamu kafir sesudah beriman.” (Q.S. At Tubah: 66).
Jika telah jelas bagi anda, bahwasanya sebagian para sahabat yang telah memerangi bangsa Romawi bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam itu kafir hanya karena mereka mengucapkan suatu kalimat (perkataan) atas dasar main-main dan canda, maka teranglah bagi anda, bahwasanya orang yang mengucapkan dirinya kafir karena rasa takut kekurangan harta atau karena demi pangkat ataupun karena berbasa-basi menyesuaikan diri dengan orang, adalah lebih besar kesesatannya dari orang yang mengucapkan suatu kalimat kekafiran dengan maksud bercanda.
Ayat yang kedua adalah firman Allah Ta’ala:
مَن كفَرَ بِٱللَّهِ مِنۢ بَعدِ إِيمَـٰنِهِۦۤ إِلَّا مَنۡ أُكرِهَ وَقَلبُهُ ۥ مُطمٮٕنُّۢ بِٱلإِيمَـٰنِ وَلَـٰكِن مَّن شَرَحَ بِٱلكُفرِ صَدۡرً۬ا فَعَلَيهِمۡ غَضَبٌ۬ مِّنَ ٱللَّهِ وَلَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيمٌ۬
ذَٲلِكَ بِأَنَّهُمُ ٱسۡتَحَبُّواْ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنيَا عَلَى ٱلأخِرَةِ
“Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah ia beriman (dia mendapat kemurkaan dari Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. Yang demikian itu disebabkan karena sesunguhnya mereka mencintai kehidupan dunia lebih dari akhirat.” (QS. An Nahl:106-107).
Maka, Allah tidak menerima uzur mereka kecuali orang yang dipaksa kafir disertai keberadaan hati yang tetap tenang dalam keimanan. Adapun selain itu, maka ia benar-benar telah kafir sesudah beriman, baik ia mengerjakan itu karena rasa takut atau sekedar berpura-pura untuk menyesuaikan diri dengan orang, atau karena rasa bakhil dengan negerinya atau keluarganya atau kerabat-kerabatnya ataupun harta bendanya. Ataupun ia melakukan tindakan kekafiran itu atas dasar canda atau karena atas tujuan-tujuan lain, kecuali orang yang dipaksa kafir.
Oleh karenanya, ayat diatas menunjukkan hal itu dari dua segi; Yang pertama: firman Allah ta’ala:
إِلَّا مَنۡ أُكرِهَ
“kecuali orang yang dipaksa kafir”
Si bodoh yang miskin pengertian ini tidak tahu, bahwa sebagian besar pemuka-pemuka kafir mereka mengetahui kebenaran itu dan mereka tidak meninggalkannya, dengan berbagai alasan, sebagaimana firman Allah subahanahu wa ta’ala:
ٱشۡتَرَوۡاْ بِـَٔايَـٰتِ ٱللَّهِ ثَمَنً۬ا قَلِيلاً۬ فَصَدُّواْ عَن سَبِيلِهِۦۤۚ إِنہُمۡ سَآءَ مَا ڪانُواْ يَعمَلُونَ
“Mereka menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit.” (QS. At Taubah: 9).
Dan ayat-ayat yang lain. Seperti firman Allah:
يَعرِفُونَهُ ۥ كَمَا يَعرِفُونَ أَبنَآءَهُمُۘ
“Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) itu mengenalnya (Nabi Muhammad) seperti mengenal anaknya sendiri.” (Q.S. Al Baqarah:146 dan Al An’aam:20).
Jika seorang melaksanakan tauhid dengan perbuatan yang tampak mata, sedangkan dia tidak memahami tauhid itu dan tidak meyakininya dengan hatinya, maka dia adalah munafiq. Dan orang munafiq lebih jelek dari orang kafir.
إِنَّ ٱلۡمُنَـٰفِقِينَ فِى ٱلدَّرۡكِ ٱلأَسفَلِ مِنَ ٱلنَّارِ
“Sesungguhnya orang munafiq itu (ditempatkan) pada tingkat yang paling bawah dari neraka.” (Q.S. An Nissa’:145).
Ini masalah yang panjang, akan jelas bagi anda, jika anda telah merenungkannya melalui apa yang keluar dari lisan-lisan manusia, anda akan lihat orang yang mengetahui al haq (kebenaran) tetapi tidak mau melaksanakan kebenaran itu karena rasa takut kekurangan dunia atau karena pangkat di bidang agama atau dunia ataupun karena basa-basi menyesuaikan diri dengan orang. Dan anda juga akan melihat orang yang mengamalkan secara zhahir, sedang batinnya menolak. Akan tetapi wajib bagi anda untuk memahami dua ayat dari kitab Allah ini.
Ayat yang pertama adalah firman Allah ta’ala:
لَا تَعتَذِرُواْ قَدۡ كَفَرۡتُم بَعدَ إِيمَـٰنِكُمۡ
“Tidak usah minta ma’af (beralasan), karena kamu kafir sesudah beriman.” (Q.S. At Tubah: 66).
Jika telah jelas bagi anda, bahwasanya sebagian para sahabat yang telah memerangi bangsa Romawi bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam itu kafir hanya karena mereka mengucapkan suatu kalimat (perkataan) atas dasar main-main dan canda, maka teranglah bagi anda, bahwasanya orang yang mengucapkan dirinya kafir karena rasa takut kekurangan harta atau karena demi pangkat ataupun karena berbasa-basi menyesuaikan diri dengan orang, adalah lebih besar kesesatannya dari orang yang mengucapkan suatu kalimat kekafiran dengan maksud bercanda.
Ayat yang kedua adalah firman Allah Ta’ala:
مَن كفَرَ بِٱللَّهِ مِنۢ بَعدِ إِيمَـٰنِهِۦۤ إِلَّا مَنۡ أُكرِهَ وَقَلبُهُ ۥ مُطمٮٕنُّۢ بِٱلإِيمَـٰنِ وَلَـٰكِن مَّن شَرَحَ بِٱلكُفرِ صَدۡرً۬ا فَعَلَيهِمۡ غَضَبٌ۬ مِّنَ ٱللَّهِ وَلَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيمٌ۬
ذَٲلِكَ بِأَنَّهُمُ ٱسۡتَحَبُّواْ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنيَا عَلَى ٱلأخِرَةِ
“Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah ia beriman (dia mendapat kemurkaan dari Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. Yang demikian itu disebabkan karena sesunguhnya mereka mencintai kehidupan dunia lebih dari akhirat.” (QS. An Nahl:106-107).
Maka, Allah tidak menerima uzur mereka kecuali orang yang dipaksa kafir disertai keberadaan hati yang tetap tenang dalam keimanan. Adapun selain itu, maka ia benar-benar telah kafir sesudah beriman, baik ia mengerjakan itu karena rasa takut atau sekedar berpura-pura untuk menyesuaikan diri dengan orang, atau karena rasa bakhil dengan negerinya atau keluarganya atau kerabat-kerabatnya ataupun harta bendanya. Ataupun ia melakukan tindakan kekafiran itu atas dasar canda atau karena atas tujuan-tujuan lain, kecuali orang yang dipaksa kafir.
Oleh karenanya, ayat diatas menunjukkan hal itu dari dua segi; Yang pertama: firman Allah ta’ala:
إِلَّا مَنۡ أُكرِهَ
“kecuali orang yang dipaksa kafir”
Disini Allah hanya mengecualikan orang yang dipaksa kafir, dan sudah maklum, bahwasanya orang tidak dipaksa kecuali supaya mengucap atau berbuat, sedangkan keyakinan (I’tikad) hati, tidak ada seorang pun yang dipaksa untuk meyakininya.
Yang kedua: firman Allah ta’ala:
ذَٲلِكَ بِأَنَّهُمُ ٱسۡتَحَبُّواْ ٱلحَيَوٰةَ ٱلدُّنيَا عَلَى ٱلأۡخِرَةِ
“Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan dunia lebih dari akhirat.”(QS.An Nahl: 107).
Maka, Allah telah menerangkan ayat itu dengan jelas, bahwasanya kekafiran dan siksa tidaklah disebabkan I’tikad, kebodohan dan kebencian kepada agama, serta cinta kepada kekafiran melainkan sebabnya adalah karena mereka mendapat keuntungan-keuntungan dunia, lalu hal itu ia utamakan melebihi agama, dan hanya Allah subanahu wa ta’ala Yang Lebih Tahu, Yang Lebih Perkasa dan Yang Lebih Mulia. Shalawat dan salam semoga tetap terlimpah kepada Nabi kita; Muhammad dan kepada para sahabat beliau.
-Selesai- Alhamdulillah.
Diterjemahkan dari kitab Kasyfu Syubhat karya Asy Muhammad bin Abdul Wahhab-rahimahullah-
—————————————————————————–
([1] ) Orang yang telah mati tidak akan mendengar do’a orang yang berdo’a kepada mereka dan tidak pula mendengar Istighatsah orang yang beristighatsah kepada mereka. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala:
إِن تَدۡعُوهُمۡ لَا يَسۡمَعُواْ دُعَآءَكُمۡ
“Jika kamu berdo’a (menyeru) mereka, mereka tiada mendengar do’a (seruanmu).” (QS Al-Fatir: 14).
Maka para penyembah orang mati senantiasa dalam kesesatan, selagi mereka tetap berdo’a kepada orang-orang mati itu, karena ibadah mereka berlawanan dengann nash Al-Qur’an.
Sumber: Haulasyiah
Yang kedua: firman Allah ta’ala:
ذَٲلِكَ بِأَنَّهُمُ ٱسۡتَحَبُّواْ ٱلحَيَوٰةَ ٱلدُّنيَا عَلَى ٱلأۡخِرَةِ
“Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan dunia lebih dari akhirat.”(QS.An Nahl: 107).
Maka, Allah telah menerangkan ayat itu dengan jelas, bahwasanya kekafiran dan siksa tidaklah disebabkan I’tikad, kebodohan dan kebencian kepada agama, serta cinta kepada kekafiran melainkan sebabnya adalah karena mereka mendapat keuntungan-keuntungan dunia, lalu hal itu ia utamakan melebihi agama, dan hanya Allah subanahu wa ta’ala Yang Lebih Tahu, Yang Lebih Perkasa dan Yang Lebih Mulia. Shalawat dan salam semoga tetap terlimpah kepada Nabi kita; Muhammad dan kepada para sahabat beliau.
-Selesai- Alhamdulillah.
Diterjemahkan dari kitab Kasyfu Syubhat karya Asy Muhammad bin Abdul Wahhab-rahimahullah-
—————————————————————————–
([1] ) Orang yang telah mati tidak akan mendengar do’a orang yang berdo’a kepada mereka dan tidak pula mendengar Istighatsah orang yang beristighatsah kepada mereka. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala:
إِن تَدۡعُوهُمۡ لَا يَسۡمَعُواْ دُعَآءَكُمۡ
“Jika kamu berdo’a (menyeru) mereka, mereka tiada mendengar do’a (seruanmu).” (QS Al-Fatir: 14).
Maka para penyembah orang mati senantiasa dalam kesesatan, selagi mereka tetap berdo’a kepada orang-orang mati itu, karena ibadah mereka berlawanan dengann nash Al-Qur’an.
Sumber: Haulasyiah
No comments:
Post a Comment
JANGAN LUPA TINGGALKAN KOMENTAR..
DAN JANGAN KIRIM SPAM..!!!!