Kesesatan Qaradhawi - Yahudi bukan musuh

Pernyataan Qaradhawi Bahwa Perang Melawan Yahudi Bukan Karena Aqidah

Karena berpendapat bahwa jihad hanya untuk bertahan saja maka Qaradhawi menyatakan bahwa perang melawan Yahudi di Palestina bukan atas dasar agama dan aqidah.
Suatu ketika Qaradhawi ditanya :

“Bagaimana sikap Islam terhadap Yahudi dan orang-orang non Muslim lainnya? Sesungguhnya Anda mempunyai pandangan fiqih yang brilian dalam masalah ini, apakah Anda setuju untuk menabuh genderang jihad untuk melawan mereka semua secara umum ataukah ada pandangan yang khusus dari sisi fiqih?”


Qaradhawi menjawab :

Aku katakan, jihad kami melawan Yahudi bukan karena mereka Yahudi. Sebagian ikhwan sudah ada yang menulis dan membahas masalah ini. Mereka menganggap bahwa kita ini memerangi Yahudi karena mereka Yahudi padahal kami tidak berpendapat demikian. Kami tidak memerangi Yahudi karena alasan aqidah namun kami memerangi Yahudi karena alasan tanah. Kami tidak memerangi orang-orang kafir karena mereka kafir namun kami memerangi mereka sebab mereka merampas dan menyerobot tanah serta rumah kami tanpa hak. (Harian Ar Raayah nomor 4696, 24 Sya’ban 1415 H/25 Januari 1995 M)

Mungkin bagi Qaradhawi tanah lebih berharga daripada aqidah. Seandainya Yahudi tidak menyerobot tanah Palestina maka Qaradhawi tidak akan berpendapat tentang adanya jihad melawan Yahudi karena sudah tidak ada alasan tanah yang mengharuskan untuk berjihad memerangi mereka. Padahal Allah berfirman :

“Katakanlah : ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (At Taubah : 24)

Saudaraku pembaca yang budiman, seruan Qaradhawi untuk meninggalkan jihad sebagai landasan demi terciptanya perdamaian dunia itu sesuai dengan apa yang didengung-dengungkan oleh Yahudi dan Kristen. Oleh karenanya, maka mereka menggelar berbagai muktamar. Simaklah pidato Qaradhawi berikut :

Kami menyeru kepada perdamaian tanpa lelah dan bosan dengan syarat agar hak-hak kami tidak diserobot dan wilayah kami tidak dirampas, bila dialog Islam dan Kristen bertujuan kepada upaya perdamaian maka ahlan wa sahlan dan jika tujuannya untuk persaudaraan maka kami juga menyambutnya dengan persaudaraan. (Ar Raayah nomor 4696, 24 Sya’ban 1415 H/25 Januari 1995 M)

Lihatlah wahai saudaraku, itulah kelancangan musuh-musuh Islam dalam pikiran dan kebatilan mereka. Kita sudah tidak merasa aneh dengan omong kosong Yahudi dan Kristen yang menyerukan perdamaian karena itu hanya sekedar basa-basi untuk membuai kaum Muslimin agar mereka tidak bangkit dari tidur panjangnya agar tidak sigap dari kelalaiannya lalu meloncat untuk menyerang mereka sampai ke sarang mereka. Mereka senantiasa berbuat seperti yang diperbuat oleh bapak-bapak mereka. Lantas kemaslahatan apa yang diperoleh Yusuf Al Qaradhawi dengan perdamaian semu ini?



Qaradhawi justru membantah Syaikh Bin Baz rahimahullah yang memfatwakan gencatan senjata bersama Yahudi dan Palestina. Padahal gencatan senjata yang difatwakan tersebut sangat berbeda jauh dengan seruan kepada perdamaian Qaradhawi bersama Yahudi dan Kristen.


Para pembaca yang budiman, telah saya uraikan ucapan Yusuf Al Qaradhawi dalam masalah jihad fi sabilillah beserta bantahannya dari Al Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya. Maka jelaslah bagi kita penyimpangan dan kesesatan Yusuf Al Qaradhawi.


Hasil Keempat, buah kebathilan selanjutnya yang dipetik dari Qaradhawi dalam berbagai muktamar yang dihadirinya adalah penghormatan kepada tempat-tempat ibadah non Muslim dan memberikan peluang kepada seluruh negara agar semua pemeluk agama bisa mempraktikkan syiar-syiar agama mereka.


Pada tanggal 26 Mei 1995 dan bertepatan dengan 26 Dzulhijjah 1415 H digelar muktamar tentang Islam, toleransi HAM, dan agama di negeri berkembang. Muktamar yang dihadiri oleh Qaradhawi ini menghasilkan 13 resolusi. Beberapa resolusinya adalah sebagai berikut :


Resolusi Kesepuluh : Muktamar ini menyerukan kepada dunia untuk menjaga seluruh tempat ibadah baik Islam maupun non Islam, melindunginya dari berbagai upaya permusuhan dengan alasan apapun serta mengkategorikan setiap permusuhan tersebut sebagai bentuk kriminal yang melanggar HAM dan harus diberi sanksi yang keras.


Resolusi Kesebelas : Muktamar mengajak seluruh negara di dunia untuk memenuhi segala hak kaum minoritas apapun agama yang dipeluknya dalam rangka mempraktikkan syiar agama dan ciri khasnya baik sosial, budaya maupun hukum khusus yang berkenaan dengan urusan pribadi, seperti nikah, cerai, waris, wakaf, dan lain-lainnya. (Majalah Al Khairiyah nomor 63 bulan Shafar 1416 H)


Menanggapi resolusi muktamar yang dihadiri Qaradhawi tersebut, bisa saya katakan di sini bahwa seruan untuk menghormati tempat-tempat ibadah baik Islam maupun non Islam adalah seruan yang berbahaya. Karena kalimat ini mencakup penghormatan gereja, sinagoge, dan seluruh tempat ibadahnya orang-orang kafir dari kalangan Majusi, Hindu, dan lain-lainnya.
Seruan ini telah menyelisihi syariat Allah. Para shahabat meriwayatkan larangan pendirian gereja di negeri Islam yang penduduknya kaum Muslimin atau kaum Muslimin memasuki negeri tersebut dengan kekerasan.


Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Ma’mar, ia berkata :


Umar bin Abdul Aziz pernah menulis surat kepada Urwah bin Muhammad agar dia menghancurkan gereja yang berada di tengah-tengah kaum Muslimin. Dia berkata : “Saya melihat Urwah bin Muhammad menghancurkan sebuah gereja di Shan’a.” (Hadits ini dikutip juga oleh Ibnu Qayyim dalam Kitab Ahkaamu Ahlidz Dzimmah).


Imam Ahmad rahimahullah mengatakan :


“Apabila gereja-gereja tersebut berada di negeri yang berdamai dengan kaum Muslimin maka dibiarkan. Adapun jika gereja-gereja tersebut berada di negeri yang ditaklukkan dengan kekerasan maka jangan dibiarkan. Mereka tidak boleh membuat gereja atau wihara yang sebelumnya tidak ada. Mereka juga tidak boleh membunyikan lonceng, menaikkan salib, menampakkan babi, menyalakan api (sebagai tempat ibadahnya orang-orang Majusi, penerj.), dan lainnya yang dibolehkan dalam agama mereka. Mereka dilarang melakukan itu semua dan tidak boleh dibiarkan begitu saja.”


Saya (perawi) berkata kepada Imam Ahmad : “Apa boleh kaum Muslimin melarangnya?” Beliau menjawab : “Ya, wajib bagi pemimpin kaum Muslimin untuk melarang mereka dari hal itu, penguasa harus bisa mencegah mereka dari melakukan (ajaran yang dibolehkan dalam agama mereka) bila negeri mereka ditaklukkan dengan kekerasan.” (Ibnu Qayyim, Ahkaamu Ahlidz Dzimmah II:692)


Dalam Kitab Siraajul Muluuk yang ditulisnya, Imam Abu Bakar Ath Thurthusyi meriwayatkan bahwa Umar bin Khaththab memerintahkan untuk menghancurkan gereja-gereja, dan menyebutkan bahwa Urwah bin Muhammad juga menghancurkan sebuah gereja di Shan’a. Kemudian Ath Thurthusyi mengatakan :


“Ini adalah pendapat ulama Islam seluruhnya. Umar bin Abdul Aziz bersikap keras dalam perkara ini dan beliau memerintahkan agar jangan membiarkan di negeri Islam ada sebuah wihara atau gereja secara mutlak, baik yang sudah lama maupun yang belum lama. Hasan Al Basri mengatakan : ‘Termasuk dari sunnah adalah menghancurkan gereja yang berada di daerah kaum Muslimin baik masih baru maupun yang sudah lama dan bagi Ahli Dzimmah dilarang untuk membangun apa yang sudah dihancurkan.’” (Syaikh Yahya Al Anshari, Hukmu Binaa’il Kanaa’isi wal Mu’aabadisy Syirkiyyah fii Bilaadil Mualimiin halaman 56-57)


Ibnu Qayyim rahimahullah dalam Kitab Ahkaamu Ahlidz Dzimmah bagi wilayah yang dihuni Kafir Dzimmi dan Mu’ahad menjadi tiga macam. Pertama, wilayah yang dibangun oleh kaum Muslimin pada Islam. Kedua, wilayah yang dibangun sebelum Islam lalu ditaklukkan oleh kaum Muslimin dengan kekerasan lantas mereka menguasai tanah dan menghuninya. Ketiga, wilayah yang dibangun sebelum Islam lalu ditaklukkan oleh kaum Muslimin dengan damai.


Ibnu Qayyim melanjutkan perkataannya : “Adapun contoh yang pertama adalah Basra, Kufah, Wasith, Baghdad, dan Kairo.”

Kemudian ia membicarakan masalah awal mula munculnya negeri-negeri tersebut dengan mengatakan :


“Maka negeri tersebut murni milik imam jika ia berkehendak untuk mengakui Ahludz Dzimmah dengan mengambil pajak maka itu boleh. Jika penguasa mengakui mereka untuk membangun gereja atau wihara atau menampakkan dengan terang-terangan minuman keras, babi, atau lonceng maka itu tidak boleh. Jika ia memberikan syarat dan ikatan janji dengan hal yang demikian maka syarat dan ikatan itu rusak. Inilah yang telah disepakati oleh kaum Muslimin tanpa ada perbedaan lagi.” (Ibnu Qayyim, Ahkaamu Ahlidz Dzimmah || Ismail Al Anshari, Ahkamul Kanaa’is halaman 63-64)


Para ulama mutaqaddimin yang lain juga banyak berbicara dalam hal ini. Syaikh Ibnu Taimiyah rahimahullah mengupasnya dalam Kitab Majmuu’ Fataawaa, As Subki dalam fatwa-fatwanya, dan masih banyak lagi. Sedangkan ulama zaman sekarang yang menyoroti masalah ini adalah Syaikh Ismail Al Anshari dalam risalahnya yang sangat berfaedah dan telah diperbanyak oleh Ketua Umum Majelis Fatwa Saudi. Dalam kata pengantarnya, Syaikh Bin Baz rahimahullah mengatakan sebagai berikut :


“Para ulama rahimahumullah telah sepakat tentang haramnya membangun gereja di negeri Islam dan wajib untuk menghancurkannya jika ada yang membangunnya. Bahkan membangun gereja di jazirah Arab seperti di Najed, Hijaz, negara-negara teluk dan Yaman maka dosa dan kejahatannya lebih besar lagi karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan untuk mengusir orang-orang Yahudi, Kristen, dan kaum musyrikin dari jazirah Arab. Beliau juga melarang adanya dua agama tersebut beserta pengikutnya di jazirah Arab.


Tatkala Umar memegang kekhilafahan maka beliau segera mengusir orang-orang Yahudi dari Khaibar sebagai bentuk ketaatannya kepada sunnah ini. Alasan lainnya adalah karena jazirah Arab adalah tempat lahirnya Islam, tempat bertolaknya para dai Islam, serta tempat kiblat kaum Muslimin. Maka dilarang keras membangun rumah peribadatan kepada selain Allah sebagaimana dilarangnya seseorang yang beribadah kepada selain Allah menetap di negeri tersebut.


Para pembaca yang budiman, perhatikanlah, betapa kerasnya ucapan dan fatwa ulama dalam melarang pembangunan gereja di negeri kaum Muslimin. Namun, Qaradhawi pura-pura jahil terhadap wasiat mereka dan aktif berpartisipasi dalam muktamar untuk menghasilkan resolusi-resolusi yang bertentangan dengan fatwa ulama. Di antara resolusi yang bathil adalah menghormati dan melindungi tempat-tempat ibadah non Muslim dan tidak ada pengingkaran Yusuf Al Qaradhawi terhadap masalah ini. Semua ini adalah kebathilan yang nyata. Benarlah apa yang dikatakan oleh Ibnu Mubarak rahimahullah :


Tiada yang merusak agama selain penguasa. Juga para ulama jahat dan para pendetanya.


Hasil Kelima, hendaknya Al Quds menjadi milik bersama semua agama.

Qaradhawi berkata :


Dalam pertemuan pada musim panas yang diselenggarakan oleh Dewan Gereja Timur Tengah bersama beberapa tokoh Islam dicapai kesepakatan bersama, di antaranya adalah masalah Al Quds.

Semua peserta mengatakan : “Dalam masalah Al Quds seharusnya dunia Islam dan Kristen bersikap sama supaya Al Quds kembali menjadi Arab Islam.” Dalam kondisi ini, Al Quds menjadi milik seluruh dunia dan semua agama. Maka semestinya kita meletakkan tangan kita di tangan saudara-saudara kita orang-orang Kristen (maksudnya memasrahkan permasalahan Al Quds kepada Kristen, pent.). Inilah Dialog Islam-Kristen yang selalu aku serukan. Aku percaya kepada hal ini dan menganggap tidak apa-apa. (Harian As Sudan nomor 31, 29 Mei 1995 M/29 Dzulhijjah 1415 H)


Bantahan penulis, bila dialog yang diserukan oleh Yusuf Al Qaradhawi adalah seperti itu, kenapa para pemeluk agama yang lain tidak diikutkan bersatu di Palestina lalu jadilah Al Quds milik semua pemeluk agama? Kenapa Qaradhawi masih mengatakan :


“Yahudi telah menyerobot tanah suci kami dan mereka –seperti yang dikatakan oleh Yusuf Al Qaradhawi– telah merampas hak-hak kami?”


Lalu kenapa dia memberikan kekuasaan negeri Islam kepada musuh-musuh Islam?


Dengan perkataan di muktamar tersebut berarti Qaradhawi telah membatalkan apa yang telah ditetapkannya bahwa perang terhadap Yahudi bukan karena aqidah tapi karena mempertahankan tanah.


Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa Yusuf Al Qaradhawi sering menetapkan suatu pernyataan dalam suatu kesempatan dan dalam kesempatan yang lain pernyataan tersebut dibatalkannya.


Maka kita harus berhati-hati dari Qaradhawi dan orang-orang yang semisalnya.


(Sumber : Kitab Raf’ul Litsaam ‘An Mukhaalaafatil Qaradhawi Li Syari’atil Islaam, edisi Indonesia Membongkar Kedok Al Qaradhawi, Bukti-bukti Penyimpangan Yusuf AL Qardhawi dari Syari’at Islam. Penerbit Darul Atsar Yaman. Diambil dari sini)



Di catut dari sini



Baca juga yang ini....

No comments:

Post a Comment

JANGAN LUPA TINGGALKAN KOMENTAR..
DAN JANGAN KIRIM SPAM..!!!!